Breaking News

Nostalgia Tulisan Lamaku Tentang Sekaten

Oleh : Robertus Rimawan


ROBERTUSSENJA.COM - Pulang ke kota tercinta membawa berbagai hal. Kubuka berbagai lembar masa laluku mulai dari kisah usang cinta hingga hobi menulisku. Ada sebuah tulisan yang aku simpan karena merupakan cikal bakal dan motivasiku untuk menjadi wartawan seperti saat ini. Aku ingat betul saat tulisanku muncul di surat kabar terkemuka di kota Jogja saat itu, beuhhhhh tak bisa aku gambarkan rasa bangga, kebahagiaan yang tak terkira (halah lebay hahahahahaaaa).

Saat itu aku tahu dari teman kalau opiniku masuk koran, langsung pinjam motor teman dan beli koran........hahahahahahahahahahahahaaaaaa saat itu benar-benar seperti seorang artis, merasa paling hebat hahahahahahahaaaa seolah semua orang mengenalku dan antre minta tanda tangan hwhahahahahahahaaa ngeklek tenan nek kelingan.

Sekaten saat itu memang membuatku jengkel, benar-benar tidak pro rakyat hingga muncul tulisanku yang sedikit pedas he2. Namun saat ini kebetulan pulang dan cuti aku lihat sudah berbeda, pesta rakyat kembali hadir karena masyarakat tidak lagi ditarik biaya masuk. Kabarnya sih tidak ditariknya biaya masuk ke Alun-alun Utara di sekaten tersebut karena syukuran Wali Kota Jogjakarta saat ini yang terpilih.

Semoga bukan karena itu, ke depan tetap gratis, masih banyak cara celah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) Jogja dengan cara lain, bukan menarik bea masuk di sekaten, karena sekaten benar-benar pesta rakyat, untuk rakyat dan selalu demi kepentingan rakyat. Baik yang memiliki duit, maupun tidak memiliki duit tetap bisa masuk dan menikmati pesta rakyat sekaten.


Berikut tulisan saya:
Repro Robertus Rimawan Prasetiyo - Ini kliping tulisan saya
hahahahahaaa wajah jadul saya emang.....hmmmmmmmmmm
jangan ngelus dada yah (terutama dada cewek orang, kena gamparrr).....makasih hahahahahahahahahaha

Mengkaji Sekaten 2004

Sebagian besar orang Yogya pasti pernah menikmati suasana sekaten, di mana setiap perayaan Maulud Nabi selama sebulan penuh di Alun-alun Utara ditampilkan berbagai hiburan rakyat dan pameran pembangunan.

Jadi wajar ketika ada lampu sorot di angkasa masyarakat pelosok pun tahu kalau ada sekaten di pusat kota Yogya dan berbondong-bondong memasukinya.

Keraton sebagai pengayom wong cilik mempunyai peranan besar dalam kebudayaan dan sekaten merupakan sebuah budaya yang perlu dilestarikan.

Tiap tahun variasi produk dan kesenian semakin berkembang sehingga acara sekaten tak pernah mengalami paceklik pengunjung.

Melihat dari sisi pengelolaannya, ada perubahan drastis di mana tidak lagi dikelola secara langsung pihak pemerintah daerah namun telah ditenderkan dan dikelola pihak luar.

Dari pengamatan yang ada terlihat bahwa pengelolaannya semakin profesional seperti beteng tinggi yang eksotik dibangun mengitari Alun-alun Utara sebagai batas pengunjung, tiketing yang semakin ketat.

Stand-stand semakin menarik dan dibangun dengan fasilitas yang mewah hiburan dan jenis yang bervariasi, juga masih banyak hal lain. Perubahan tersebut merupakan lompatan perkembangan yang positif dari sisi profesionalisme kerja.

Namun dari esensi budaya di mana punya tujuan sebagai sarana komunikasi dan hiburan rakyat, pengelolaan ini kurang menguntungkan bagi wong cilik.

Mulai dari tiket masuk yang tergolong mahal yaitu Rp 2.500 pe orang untuk hari biasa dan Rp 3.500 tiap orang untuk hari Jumat, Sabtu dan Minggu.

Bagi orang-orang pelosok yang kurang mampu, tiket itu tergolong mahal, dan pada praktiknya nonton sekaten tidak hanya masuk untuk beli tiket, namun juga makan, parkir dan sebagainya.

Dari data yang ada biaya makan di sekitar sekaten juga relatif mahal dan parkir yang biasanya Rp 1.000 per motor menjadi Rp 2.000 per motor.

Kemudian bila dilihat dari sisi tata letak stand, sangat menguntungkan bagi pihak penyewa, karena semua pengunjung pasti akan melewati semua stand yang dibangun.

Hal ini kurang menguntungkan bagi pengunjung, karena membuat lelah. Apalgi sepanjang jalan-jalan tersebut tidak ada toilet yang dekat sehingga lagi-lagi menyulitkan, hanya ada satu toilet umum yang terlihat di Alun-alun Utara yaitu di sebelah Tenggara.

Jarak pintu masuk dengan toilet relatif jauh, yaitu kurang lebih satu kilometer.

Hal ini memperlihatkan di mana ada pemaksaan terselubung pada pengunjung agar melewati stand, dan tentu saja sulit bagi pengunjung memilih tempat-tempat mana yang harus dikunjungi sesuai dengan minatnya.

Paparan di atas merupakan refleksi bagi semua pihak yang berhubungan dengan pengelolaan sekaten, dan menekankan bahwa rakyat kecil selayaknya menjadi fokus utama bukan kaum pemodal.

Kita perlu menengok ke belakang dan membandingkan pengelolaan-pengelolaannya dari tahun ke tahun, lalu bertanya apakah sudah mengutamakan rakyat kecil dalam memberi kebijakan-kebijakan publik? Sekaten punya tujuan utama untuk memeringati hari besar Kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Kemudian berkembang menjadi media komunikasi antara raja dan rakyatnya yang juga merupakan pesta rakyat tentu saja bisa dinikmati semua elemen masyarakat. Tapi kini berbalik 180 derajat, acara sekaten hanya bisa diakses oleh sebagian elemen, yaitu masyarakat ekonomi menengah ke atas. Jadi mungkinkah pesta rakyat kembali hadir, di mana semua elemen masyarakat mampu menikmati. Tidak hanya nyonya dan tuan besar, tidak hanya bos dan juragan tapi juga kaum-kaum kecil....kaum marjinal. 'Vox Populi Vox Dei'.

*Penulis, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggal ( sekarang Universitas Mercu Buana Yogyakarta).

2 comments:

  1. salut buat dirimu sekarang wan.. sukses untuk jobnya..

    ReplyDelete
  2. hehe tengkiyu sob, sukses juga buat kamu. Sekedar tulisan untuk mengingat perjalananku dan cakrawala tentu tak bisa lupa. Bagaimana qt belajar bersama di sana.

    ReplyDelete