Breaking News

Peran Pengganti (sebuah cerpen)

Oleh: Robertus Rimawan Prasetiyo

Ilustrasi Istimewa 


ROBERTUSSENJA.COM - Senja di pelupuk mata terasa indah, apalagi saat ini detik-detik penentuan hidup seperti menunggu jatuhnya pisau gouletin memenggal leherku.

Wilayah antara ya dan tidak, antara keraguan dan keharusan, melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kata hatiku.

Setiap keraguan itu muncul, kata-kata almarhum ayah terdengar jelas di telingaku,"Nak, sepeninggal ayah kamu harus membalas jasa pada keluarga pak Bima, kalau tidak ada mereka entah bagaimana nasib kita".

Memang kami sekeluarga berutang budi dengan keluarga pak Bima, saat itu masih kecil ketika kapal kami terombang-ambing oleh badai hingga akhirnya pecah dan terdampar di pinggir pelabuhan.

Banyak orang yang berbondong-bondong menolong hingga akhirnya ada polisi pelabuhan yang membawa kami ke kantor dan bertanya macam-macam.

Kami memang imigran gelap yang mengungsi karena perang, untunglah ada seorang laki-laki yang mau menjamin dan menampung kami, beliaulah pak Bima, seorang juragan kapal yang murah hati.

Keluarga pak Bima yang membantu kami menghilangkan trauma dan kesedihan kecelakaan yang merenggut nyawa adik bungsu.

Kami ditampungnya hingga bisa mandiri dan punya rumah sendiri. Ayahku menjadi anak buah sebuah kapal milik pak Bima, hingga meninggal lima tahun kemudian.

Begitu banyak pengorbanan keluarga pak Bima pada kami, semuanya tak dapat digantikan oleh apapun dan dengan apapun.

Aku mulai meradaptasi dengan lingkungan dan bahasa yang mulanya sama sekali asing, lewat keluarga Bima kami dibimbing. Tanpa sadar aku sudah beranjak dewasa dan kuanggap keluarga Bima sebagai bagian dari diriku.

Aku punya pacar, ia baik, cantik dan mau menerimaku apa adanya. Awalnya kami saling benci, sering saling ejek dan selalu mengakhiri dengan pertengkaran dan tangisan.

Lucu memeang, perasaan cinta yang menggebu hadir setelah adanya kebencian.

Aku sering berpikir kalau tak punya pacar seperti dia mungkin aku sudah menjadi sampah, ia yang membantuku meninggalkan obat-obatan terlarang.

Saat itu aku bersumpah untuk selamanya mencintainya dan sebenarnya kami telah berjanji untuk sehidup semati.

Tak bisa kulukiskan begitu besar rasa bahagia yang hadir saat itu, tetapi kenyataan hari ini berkata lain.......

Aku juga bersyukur lingkungan tempat tinggal tak menganggap kami sekeluarga asing. Teman-temanku banyak dan kami saling menjaga, aku masih ingat ketika mereka tertawa saat kuungkapkan keinginan untuk menjadi bintang film.

"Kamu ingin menjadi bintang film? Hahahahahhahahaaaa.....sudahlah jangan bermimpi," ujar seorang temanku dan ditimpali teman-teman lain.

Dari awal aku memang tertarik dengan dunia akting, maka kudatangi tiap production house, dan gagal.

Tapi aku tak patah arang, semangatku tetap menyala bagai bara abadi, aku terus berusaha dan akhirnya jadi peran pengganti (stuntman), bahaya memang tapi aku senang menjalani.

***

Aku semakin bingung dan sangat bingung, apakah aku harus aku harus bunuh diri dan lari dari permasalahan. Ini tak sekedar menunggu pisau gouletin yang siap memenggal leher, tapi detik-detik pertemuan dengan seribu malaikat maut.

Sejak kecila aku telah mengenal lama Jaka, anak pak Bima, bisa dikatakan kami dibesarkan sama-sama. Ia sudah kuanggap sebagai kakak sendiri walaupun usia kami tak jauh berbeda, ia lebih tua dariku satu tahun.

Kami bersama tapi keadaan berbeda, ia terbiasa dilayani dan aku selalu melayani, ia terbiasa manja dan aku dididik untuk disiplin dan kerja keras. Jaka menjadi sombong, ia sering mempermainkan wanita.

Semakin kurenungkan justru semakin menambah kebimbangan. Aku memang harus balas budi, apalagi pak Bima sendiri yang memintaku, aku tak sanggup menolak.

"Kamu harus menolong kami nak, Jaka tak bisa melakukannya karena ia adalah harapan kami satu-satunya, ia pewaris kekayaan keluarga tak mungkin menikah dengan wanita sembarangan," ujar pak Bima padaku.

Menikah? Aku harus menikah? Menikah dengan wanita yang sama sekali tak kukenal, menikah dengan wanita yang telah hamil 4 bulan oleh anak satu-satunya pak Bima.

Sebenarnya beberapa kali ia mengakami kasus serupa tapi dapat diatasi dengan uang ayahnya. Kali ini lain, wanita yang dihamili anak seorang preman berkuasa, setelah ada negosiasi mereka bersedia anaknya dinikahkan tidak dengan Jaka tapi dengan syarat uang yang telah ditentukan dan dicarikan penggantinya.

Dengan berat hati aku menyetujuinya, ya, aku harus membalas budi. Tapi bagaimana aku mengatakan hal ini pada kekasihku, aku sudah janji akan menikahinya, aku sudah berjanji akan mendampinginya seumur hidup, tapi realita memang tak seperti harapan.

Sore itu aku kerumahnya seperti biasa, ia menyambutku dengan senyumnya yang menggetarkan, tak lupa memeluk dan menciumku.

"Kenapa lama tak kemari?" Tanya dia manja sambil menggelayut di pundakku.

Untuk beberapa lama aku terdiam, diam terus diam dan akhirnya...........

Mahadewi menangis, menjerit, histeris kemudian membanting pintu.

Mendadak suasana senyap, kesunyian menjadi atmosfer....pekat sangat pekat.

***

Pernikahan besar dilangsungkan. Aku merasa lelah dengan topeng senyum yang seolah lekat di wajahku.

Pernikahan akbar telah selesai, dan hal yang kuduga terjadi.

Malam itu ku dengar langkah kaki mendekati kamar, ternyata Jaka minta izin untuk bicara dengan wanita yang kunikahi.

Aku tersenyum lalu menganggukkan kepala dan beranjak ke kamar samping.

Aku ingat kata-kata temanku ketika kita masih getol menjadi aktivis, lantang suarakan kebenaran, lari kesana-kemari, teriak, kelaparan dan tak mandi demi sebuah idealisme.

Aku dan temanku memang sering diskusi dan ku dengar pemikirannya yang entah didapat dari mana.

"Dalam sebuah rantai makanan setiap makhluk punya peran sendiri-sendiri. Sebagai pemangsa atau dimangsa, sebagai penindas atau ditindas. Tapi di luar dua peran tersebut, ada peran lain yaitu penyeimbang, seperti pengurai makanan. Tugasnya mengurai bangkai pemangsa agar menyatu dengan bumi," jelasnya berteori.

Aku tersenyum kecut, rasa asam seolah menyengat pangkal tenggorokanku. Aku menyadari ternyata menjadi satu bagian dari rantai makanan, terjebak di dalamnya dan tak bisa berkutik.

Kadang aku berpikir aku ini korban, atpi aku juga berpikir ini kewajibanku untuk balas budi. Kali ini tak salah lagi aku memang dikodratkan sebagai peran pengganti.

Aku tetap tersenyum meski semalaman melihat dua insan terbang dalam kenikmatan. Ya aku melihatnya, melihat wanita yang kini istriku bergumul penuh nafsu dengan Jaka. Aku tetap tersenyum ketika pagi sang pangeran itu pergi sambil menyelipkan beberapa puluh lebar ratusan ribu di sakuku.

"Ini hadiah pernikahan," ujarnya kemudian berlalu.

Lagi-lagi aku harus tersenyum saat keluar rumah dan mendengar para tetangga yang menggodaku dengan lagu malam pertama.

SELESAI

1 comment:

  1. Tragiiiss... Arrgghhhh... !!!
    Kayak gimana rasanya... terjebak dalam sebuah wasiat "balas budi", sedangkan dirinya sendiri... tak bisa tergambarkan... Huuufffttt

    ReplyDelete