Breaking News

Sudah Tradisi (Sebuah Cerpen)

Oleh : Robertus Rimawan Prasetiyo

ROBERTUSSENJA.COM - Teriakan ampun dari sosok kerempeng yang berguling-guling di lumpur minyak serasa tertelan kemarahan massa, "bakar, bakar, bakarrrr......!!!".

Entah siapa yang melakukan tiba-tiba ada sebatang nyala korek terlempar, dan akhirnya,"arrkhhhhh.....arkhhhhh!!!".

Obor manusia bercampur dengan jerit pilu seorang anak manusia yang dibakar hidup-hidup.



Ilustrasi : desy evarani dan devi ayu diambil dari http://deasyevarani.blogdetik.com

***

Seperti biasa, angin masih bertiup seirama tarian daun, orang berlalu lalang dengan segala kepentingannya. Begitupula denganku mengejar sang waktu yang menurutku terlalu sombong untuk dikalahkan.

Ya terlalu banyak tugas yang harus kutuntaskan.

Dengan penuh semangat kumasuki sebuah gedung bertingkat yang sangat megah, walaupun kaki mulai memberontak dan terus mengajak untuk diam.

Telingaku mulai akrab dengan dering telepon yang bersahut-sahutan. Dari lantai dasar kugapai lengan tangga dan naik ke lantai sepuluh. Suatu hal biasa bagi orang lain untuk menggunakan lift tapi suatu hal yang mengerikan bagiku, aku seorang claustrophobia seorang yang memiliki ketakutan luar biasa terhadap tempat sempit dan tertutup.

Setelah melewati beberapa lantai, banyak aku baru menyadari banyak yang menggunakan tangga, tapi anehnya sebagian besar berpasangan, mesra, erat.....dan sangat erat, mungkin ini yang dinamakan optimalisasi pemanfaatan sarana dan pra sarana.

Ini adalah perjalananku yang kedua di kota metropolitan, tapi untuk kedua kalinya aku hampir kecopetan.

"Dasar ceroboh," umpatku. Aku tak habis pikir mengapa kereta kelas ekonomi sering menjadi sasaran pencopet, padahal rata-rata adalah penumpang berkantung cekak apalagi sepertiku mahasiswa kampung yang diberi uang jalan pas-pasan, makan saja harus cari warteg yang harganya miring.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanpa sadar aku sudah berada di depan gadis yang cocok jadi puteri kraton. Anggun, semampai dengan deretan gigi putih bersih. Balutan blazer warna biru ditambah senyum lesung pipit yang menyejukkan hati.

Tanpa sengaja lenganku bersentuhan, seeeerrrr.......jantungku serasa berhenti. Saat ini aku merasakan sensasi yang luar biasa.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanya dia. Aku tersentak dan mendadak bangun dari tarian imajinasiku. Segera aku memperkenalkan diri dan mengatakan maksud kedatangan.

Hmmmmmmmm ternyata pertemuan harus mundur, karena masih ada klien penting, padahal aku sudah janjian seminggu sebelumnya, inilah nasib pers mahasiswa.

Kulirik waktu, ternyata masih banyak tersisa, sebaiknya kugunakan untuk persiapan wawancara. Sebenarnya interview guide sudah kusiapkan tapi perlu kupelajari ulang agar tak melenceng dari angle yang telah ditentukan. Bisa-bisa pemimpin redaksi marah-marah. Maklum pemimpin redaksi adalah kakak tingkatan dan sudah senior jadi biasa apa yang dilontarkan harus didengar.

Pernah aku menulis ulang hasil liputan hingga enam kali, hampir menyerah dan putus asa hingga kudengar ada teman lain yang pernah mengulang hingga sepuluh kali.....ternyata ada yang lebih parah.

Sudah tiga puluh menit berlalu dari kesepakatan, tapi aku masih sabar menunggu karena ini seorang narasumber yang paling penting.

Tema yang kuabwa tentang korupsi yang merajalela, sebenarnya tema basi tapi hal ini sering terjadi dan endingnya koruptor lolos entah melalui jalur hukum atau melarikan diri.

Setelah melakukan wawancara dengan tokoh yang terkenal pro dengan koruptor atau setidaknya bersedia membela mati-matian koruptor, kini tinggal narasumber ini. Ia tokoh yang dikenal anti membela koruptor.

"Walaupun tugas pengacara adalah membela tapi aku tak sudi membela koruptor yang mengisap uang rakyat," itu kalimat ya sering aku dengar darinya di layar kaca.

"Saudara sudah ditunggu di ruangan oleh pak Prakosa," kata receptionist yang cantik itu.

Aku terkesiap dan segera beranjak sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Kutenteng kamera dan perlengkapan wawancara,.....ya....aku siap.

Seperti biasa, setelah memperkenalkan diri dilanjutkan dengan sedikit basa-basi kemudian masuk pada pokok pembicaraan.

"Bagaimana menurut bapak tentang korupsi yang sering terjadi?" Tanyaku serius, kemudian melirik recorder, memastikan gulungan berputar dan led merah menyala, sambil bersiap menulis inti-inti pembicaraan.

Sesuai dugaan, jawaban yang ia berikan selalu memojokkan sistem yang buruk seperti kasus-kasus korupsi sebelumnya.

"Negara bisa kehilangan beberapa triliun gara-gara surat sakti," katanya lantang.

Ia juga menambahkan tentang kurang maksimalnya proses transparansi kekayaan dan kontrol ketat terhadap pejabat, sehingga sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Pernyataannya yang paling menarik adalah tentang rendahnya mental serta moral pejabat.

"Di negara-negara barat calon-calon pejabat diprioritaskan punya kekayaan yang melimpah, sehingga potensi untuk melakukan korupsi kecil. Mereka sudah berlimpah kekayaan, mau apa lagi," imbuhnya.

Belum selesai tinta kugoreskan, Prakosa kembali mengatakan, kebanyakan pejabat di sini dulunya miskin setelah menjadi kaya raya.

"Aneh sekali........ ehh dik mahasiswa tolong pernyataan baru saja ini off the record yah," katanya lirih kemudian menyeka wajah, menutupi mimik kekhawatiran.

Pernyataan lain yang tak kalah menarik adalah lemahnya proses hukum terhadap koruptor. Menurutnya ada dua analisa, yang pertama karena kurangnya kualitas sumber daya manusia aparat penegak hukum atau memang sengaja diperlambat karena banyak yang terlibat termasuk pelaksana hukum itu sendiri.

Pria itu tampak elegan, setelan jas impor berpadu dengan dasi yang konon harganya lebih mahal dari satu unit sepeda motor membuatnya tampil berwibawa.

Beberapa kali asap tebal keluar dari hidungnya, meski ruangannya ber-AC ia tetap menikmati cerutu berkualitas.

"Satu lagi, saat bukti sudah cukup, ternyata pelaku sudah melarikan diri. Tapi ada koruptor yang sudah terpojok dengan bukti dan sudah divonis ia minta banding, pinter ya," ujarnya.

Ia menambahkan di tingkat pengadilan lebih tinggi sudah ada jaringan agar pelaku mendapatkan hukuman lebih ringan. "Yah cukup transfer duit berapa beberapa ratus juta bereslah," katanya kemudian tertawa.

Aku mulai mengarahkan pertanyaan pada contoh-contoh konkrit dari pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan. Namun sebelum pertanyaan keluar tiba-tiba teleponnya berdering.

"Ya hallo...... oke thank's," katanya singkat kemudian telepon diletakkan. Ia pun mengambil remote control televisi layar datar kemudian menyalakannya.

Tampak seorang reporter yang melaporkan langsung dari tempat kejadian.

"......seorang anak usia 11 tahun dibakar massa, karena kepergok warga sedang mencuri ayam. Menurut penuturan ibu korban, anak putus sekolah tersebut nekat mencuri karena tak tega melihat adiknya kelaparan, ditambah lagi....." Klik, televisi langsung dimatikan.

"Lagi-lagi eigenrichting," kata Prakosa.

"Apa itu pak?" Tanyaku antusias.

"Eigenrichting, alias main hakim sendiri," ujarnya.

Istilah tersebut langsung kucatat, asal kata dari Bahasa Belanda itu juga langsung kusimpan dalam memoriku.

Terlihat pengacara tersebut merenung, suasana mendadak senyap, tampak lelaki yang berusia empat dasa warsa itu larut dalam kesedihan.

" Malang nsaib anak itu, ia tak diberi kesempatan kedua untuk mengubah perilaku, tak heran banyak orang yang suka melakukan korupsi daripada maling ayam," ujarnya.

Tak berapa lama aku memutuskan untuk undur diri mengingat waktu wawancara tak lagi menarik untuknya.

Dalam perjalanan pulang kusempatkan menulis nama Prakosa SH dalam deretan tokoh yang kukagumi setelah Mahatma Gandhi dan Mohammad Hatta. Wawancara tadi sangat berkesan bagiku dan makin menambah kekagumanku terhadap sosok seorang pengacara yang pro rakyat.

Keesokan hari aku membaca koran dan seperti dugaanku, pencuri yang tewas dibakar hidup-hidup kemarin menjadi berita utama. Teknik penulisannya sangat menarik, deskriptif dan dramatik.

'Teriakan ampun dari sosok kecil bertubuh kerempeng yang berguling-guling di lumpur minyak serasa tertelan kemarahan massa. "Bakar.....bakar.....bakar!!!", teriak massa bersahutan. Entah siapa yang melakukannya, tiba-tiba ada sebatang nyala korek terlempar dan akhirnya....."arrrkhhhhhhh......arrrrkhhhhhh...!!" teriak korban. Obor manusia bercampur jerit pilu seorang anak manusia yang dibakar hidup-hidup.....'.

Tulisan tadi sangat menarik, menggunakan lead yang menggambarkan suasana dan dramatis, bernuansa misterius. Tapi ada yang lebih mengagetkan dan membuatku marah, sulit kulukiskan dengan kata-kata, kubaca kembali tulisan tersebut, siapa tahu salah baca.....tapi ternyata tidak.

'...pengacara kondang Prakosa SH resmi menjadi pembela pejabat tinggi inisial AT (60) dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 33 triliun rupiah, Tersangka saat ini masih menjabat sebagai Ketua......'.

Kurobek koran tersebut dengan penuh kemarahan. Pengacara itu memang tak pantas kukagumi, katanya tak sudi membela koruptor, kenyataannya.......Uang pasti jadi alasannya, ya aku yakin.

***

20 tahun kemudian

Saat ini aku sudah menjadi pejabat tinggi negara, berbeda dengan dulu aku justru mengucapkan ribuan terima kasih dan memujanya sebagai dewa pada Prakosa SH, karena membebaskanku dari tuduhan korupsi. Padahal kenyataannya aku benar-benar korupsi puluhan triliun rupiah. "Hahahahaa....haha....hahahaaaaa," tawaku keras.

Seperti biasa, angin masih bertiup seirama tarian daun, orang berlalu lalang dengan segala kepentingannya. Begitu pula denganku mengejar sang waktu yang terlalu sombong untuk dikalahkan, suatu tantangan yang luar biasa, aku harus mengalahkan waktu.

"Halooo...oh pak Prakosa,,,,,terima kasih pak bantuannya.....bagaimana.....ditransfer ke rekening yang mana?....ohhhh oke-oke, langsung saya transfer. hahahahahaaa...haha... benar pak, .....ya...ya.....sudah tradisi" .  Tut tut tut telepon ditutup.

SELESAI

Yogyakarta, Mei 2003






1 comment:

  1. Idealisme ternyata bisa terbeli oleh "uang". Hmmmmmmm....

    ReplyDelete