Breaking News

GP Ansor Sulut Bagi 290 Tiket Gratis, Garin Kagum, Djaduk Terharu

Oleh Robertus Rimawan

Capture Youtube - Film Soegija

ROBERTUSSENJA.COM - "Wow.....begitukah? Saya tak menyangka bisa demikian, GP Ansor Sulut menunjukkan tingkat kedewasaan yang tinggi."  Demikian sepenggal kalimat terucap dari Garin Nugroho, sutradara besar sosok utama pemahat kisah di film Soegija saat dihubungi penulis, Rabu malam (30/5). Nada suara Garin Nugroho terdengar kaget, ia seolah tak percaya saat diberitahu GP Ansor Sulut telah menyiapkan 290 tiket (satu studio) nonton Film Soegija dan dibagi gratis untuk jurnalis, aktivis lintas agama maupun penikmat film.

Garin Nugroho merupakan sutradara terkenal, ia baru saja menyelesaikan pembuatan Film berjudul Soegija, yang mengisahkan kiprah sosok seorang Katolik Mgr Albertus Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama, yang akhirnya diangkat sebagai pahlawan nasional karena turut andil dalam kemerdekaan Republik Indonesia.

"Saya diundang ke Manado, saya pasti datang. Rencananya setelah pemutaran film selesai kami bersama rombongan akan keliling, permintaan banyak di wilayah Sumapapua, bahkan warga bikin kegiatan mereka membiayai sendiri," katanya. Ia mengaku terpesona dengan kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara dan apa yang dilakukan GP Ansor merupakan cermin dari Pancasila.

Indonesia dengan lima agama, bila film tentang agama sedikit menurutnya justru aneh, Indonesia memiliki keberagaman dan itu perlu dimunculkan ke permukaan. Bila ada suatu kelompok yang seolah menentang dan menuduh film ini sebagai ancaman menurutnya hanya kelompok kecil dalam kultur keberagaman di Indonesia. Hal tersebut tak perlu ditanggapi. Sangat perlu Islam membuat film agama, Budha, Hindu juga membuat film demikian, yang membuat Indonesia makin kaya dengan kiprah para tokoh teladan. "Film ini semacam inspirasi budaya kepemimpinan multikultur yang sering kita lupakan kini bisa ditampilkan," katanya.

Kehadiran film Soegija ia nilai hadir di saat yang tepat di saat Indonesia mengalami kemunduran dalam kebhinekaan. "Kata-kata yang diucapkan Romo Sugiyo (Mgr Albertus Soegijapranata SJ) menunjukkan berbagai pesan, sikap mental seorang pejuang, kemanusiaan serta pluralisme bangsa," ujar Garin. Di proses pembuatan film ia awalnya menyangka akan menemukan berbagi kesulitan, karena mulai dari pemeran yang membutuhkan pemain Jepang, Belanda, kostum maupun setting cerita yang berlatar belakang tahun 40-an harus dimunculkan. Namun ia merasa ada banyak jalan kemudahan saat proses pembuatan film ini, bahkan banyak yang datang dan ingin bergabung dalam pembuatan film. "Para pemain dan kru memiliki kesamaan tujuan ingin menciptakan sesuatu yang berharga dan ini bisa berjalan baik karena semua yang tergabung meyakini film ini sangat berharga. Dan dari jumlah pemain sebanyak 2075 orang, 70 persen pemerannya beragama Islam," katanya.

Penentuan setting, lalu kostum yang digunakan para pemeran memerlukan proses referensi yang panjang, mulai memperhatikan foto-foto di masa itu dan beberapa referensi dari lukisan. Garin mengaku melihat lukisan-lukisan Sujoyono sangat membantu dalam menentukan pakaian serta setting-setting lokasi pembuatan film. Lalu untuk untuk properti ia mencari pengepul benda-benda antik dan memilik dengan seksama. ia mencontohkan misalnya saat mencari piringan hitam dengan kotak kayu, pencarian benda ini juga membutuhkan waktu dan kesabaran.

Bila dulu ia sering mendapatkan pesanan pembuatan film untuk festival film di Wina, Garin menciptakan Opera Jawa, ibarat koki ia akan menyajikan nasi goreng namun dengan cita rasa Eropa. Berbeda dengan ini, ia mengaku justru bisa menunjukkan jati diri bangsa yang sesungguhnya, banyak nilai yang bisa ditunjukkan dan sangat berharga.

Djaduk Ferianto penata musik dalam film ini juga memiliki pendapat yang sama, saat diberitahu tentang 200 tiket nonton dibagikan gratis oleh GP Ansor ia mengaku terharu. "Kami merasa terharu atas berita ini dan kami meyakini bahwa Tuhan selalu menyertai kitadalam merayakan perayaan multi kultur," tulisnya melalui pesan pendek ponsel.

Sementara itu Romo (Rm) Murti Hadi Wijayanto SJ produser film Soegija memberikan apresiasi atas hal ini. Ia juga mengakui ada rencana untuk keliling namun rencananya baru di Pulau Jawa dan sekitarnya, tapi ada juga kemungkinan ke Indonesia Timur karena banyak sekali permintaan. Tentang film ini, Rm Murti mengakui apa yang disajikan telah mewakili nilai-nilai yang sepatutnya muncul. Nilai kemanusiaan, perjuangan bukan perbedaan agama, ras atau suku tertentu.

Ia juga memilih tempat-tempat yang sekiranya sesuai dengan gambaran lalu, seperti Rumah Sakit Jiwa di Magelang dengan lorong-lorong panjang, ciri khas bangunan sangat mewakili gambaran saat itu. Lalu setting lain seperti Gereja Gedangan dengan bangunan yang masih asli, Kota Lama, kereta api di Ambarawa karena masih ada kereta kuno yang beroperasi. Lokasi syuting lainnya seperti di Gereja Bintaran Yogyakrta dengan bangunan yang masih asli juga pabrik gula Gondang juga masih asli.
Rm Murti mengaku terkesan dengan proses pembuatan film bersama orang-orang yang piawai di bidangnya dan tak memandang agama, meski sosok Katolik tak semua pemain harus Katolik.

Film Soegija menampilkan sosok Mgr Sugiyopranoto (sesuai ejaan), perjuangan, kiprah serta pengorbanannya demi kemerdekaan Indonesia, sehingga layak disebut pahlawan. Dikutip dari Wikipedia.org, Mgr Sugiyopranoto dinobatkan sebagai pahlawan berdasarkan SK Presiden RI no 152 tahun 1963 tertanggal 26 Juli 1963, meninggal di Steyl, Venlo, Belanda, 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.

Dengan kehadiran film tersebut, Benny Ramdhani, Ketua GP Ansor Sulut. GP Ansor sebelumnya telah menyiapkan 200 tiket nonton di bioskop Twenty One Manado gratis. Tiket tersebut sudah ia persiapkan untuk nonton bareng diibagikan untuk pemuda Keuskupan Manado, beberapa wartawan, tetua, tokoh dan pemuda Ansor maupun penggiat lintas agama. Hal tersebut ia lakukan agar sosok Soegija yang dulu seolah hilang dari sejarah perjalanan bangsa bisa dilihat kembali. Romo Soegija (baca: Sugiya) menurutnya bukan hanya sekedar tokoh agama tapi seorang pejuang. Orang yang memperjuangkan nilai-nilai humanisme pluralisme dan kebangsaan. Melalui film ini kita tersentak seolah dibangunkan dari tidur. Ramdhani menilai film menjadi spirit pemuda Ansor untuk belajar kepribadian Soegija yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia selama ini.

No comments