Breaking News

Catatanku, Detik Pergantian Tahun 2010 di Candi Ganjuran

Oleh : Robertus Rimawan


Tahun baru kemarin kemana?
Ke Candi Ganjuran
Sama siapa?
Sama ibu trus sendirian karena ibu pulang bareng keluarga pakde
Di sana berdoa?
Iya sih.....sambil......
Sambil apa?
BERCERMIN



Foto Istimewa Candi Ganjuran

ROBERTUSSENJA.COM - Waktu tak bisa kita atur, terjadi dan pasti berjalan tak pernah berhenti. Itu yang kurasakan, umur yang menua namun ada beberapa target yang meleset. Ada beberapa keping kisah yang tak kulupa, terutama ketika berada di suatu tempat........dan sendiri.....merasa sendiri di tengah keramaian.

Candi Ganjuran, satu tempat favoritku untuk berdoa di samping beberapa tempat lain yang menjadi lokasi kesayangan seperti Sendang Jatiningsih atau Sendang Sono.

Saya tak bisa lupa pergantian tahun 2010 ke 2011 saat itu saya ingin meliput pergantian tahun di Candi Ganjuran. Kebetulan ibu bersedia menemani, namun saya harus menemui beberapa orang terkait peliputan sehingga ibu memilih untuk berdoa.

Usai bertanya beberapa orang mengenai acara yang akan berlangsung, saya menyempatkan untuk berdoa. Tanda salib mengawali lafal doaku dalam hati, ternyata banyak yang kupikirkan, apa yang kuinginkan meluncur bagaikan lagu rap. Ya banyak yang kuharapkan dari beberapa targetku tahun 2010 yang meleset. Aku berdoa di dalam Gereja Joglo di Ganjuran, dan masih berlanjut untuk berdoa di Candi Ganjuran.

Saat menulis ini saya teringat juga pada pergantian beberapa tahun sebelumnya, saya berdoa di Candi Ganjuran. Luapan kesedihan meluncur bersama tetesan air mata yang tak kusadari.

Pertanyaan muncul, apakah pergantian tahun nanti saya akan melewatinya sendiri? berbeda dengan tahun sebelumnya bersama kekasih. Tak bisa kujawab pertanyaan itu. Menurut saya bersama dengan kekasih, atau sendiri bukan hal yang penting. Tak perlu dipaksakan harus bersama ketika malam pergantian tahun, namun yang paling penting adalah kualitas yang didapatkan saat terjadi pergantian tahun.

Saat itu saya merasa pergantian tahun yang dirasakan cukup berkualitas. Saya mampu bercermin, menengok perjalanan lalu dan merencanakannya untuk mendatang. Beberapa target tahun lalu ada yang meleset, tapi ada yang tercapai. Saya yakin pergantian tahun nanti, saya akan mendapatkan kualitas 'bercermin' lebih baik.

Pergantian tahun di Candi Ganjuran saya sempat merekamnya melalui tulisan dan dimuat di website Tribun Jogja dengan link berikut:  http://jogja.tribunnews.com/2011/01/01/pengendang-cilik-pukau-penikmat-wayang-wahyu.

Tulisan tersebut coba saya kutip kembali.

FOTO ISTIMEWA-Gereja Joglo Ganjuran

Detik-detik pergantian tahun biasanya tertutup oleh gegap gempita kegembiraan dan perayaan yang aneka warna. Namun malam itu seolah gegap gempita suar kembang api melepas pergantian tahun 2010, tertutup oleh irama gamelan dan ritme 'gejluk' lesung di pelataran Candi Ganjuran Bambanglipuro Bantul, Jumat (31/12/2010).

Sebuah gambaran yang berbeda bagi ratusan orang warga Katolik Paroki Ganjuran yang datang di Candi Ganjuran. Beberapa orang berdecak kagum dengan kepiawaian Uka, pengendang cilik yang baru duduk di kelas II SD.

Muncul kilasan-kilasan lalu, seumurnya, seumur Uka, saya belum apa-apa, belum memiliki keahlian sepertinya saat itu.

"Ini adalah kolaborasi antara eyang dan cucu," kata Pastur Fransiskus Xaverius Wiyono, dalang pergelaran Wayang Kulit Wayang Wahyu ketika pergantian tahun tersebut.

Wayang Wahyu menjadi pilihan kesenian yang unik karena cerita yang dibawakan ada sangkut paut dengan nilai-nilai ajaran Katolik. Beberapa bumbu-bumbu seperti banyolan khas Pastur Wiyono maupun iringan yang dibawakan dalam pertunjukkan mampu memberikan hiburan tersendiri.

Tubuh Uka yang kecil, bahkan tak terlihat penonton, karena tertutup dengan kendang. Namun tepuk tangan terdengar riuh setelah tubuh kecil Uka berdiri dan bisa dilihat penonton. Wayang Wahyu yang dibawakan oleh Pastur Wiyono dikemas dengan pertunjukan yang menarik.

Memang tak seperti biasanya, ada hal yang berbeda dan layak untuk diungkap. Saat itu bukan hanya penabuh gamelan yang didominasi oleh anak usia SD dan SMP ini juga menampilkan kepiawaian berkolaborasi dua musik tradisional, gamelan dan 'gejluk' lesung.

Lesung? ya lesung.

Lesung yang awalnya sebagai alat menumbuk padi kemudian berkembang menjadi satu jenis kesenian sudah mulai hilang dari peredaran kini diangkat kembali dan bisa dinikmati.

Lagu Lesung Jumengglung ditampilkan duet antara gamelan dan lesung mampu menyita perhatian penonton saat sesi guyonan Limbuk Cangik. Saat ditemui di sela-sela persiapan, Pastur Wiyono hanya memberi penjelasan singkat.

"Saya membawakan lakon Ajisaka, ini Wayang Wahyu, cerita yang dibawakan berdasar nilai-nilai Alkitab," ujarnya lalu beranjak dan memberi intruksi asisten dalang terkait kesiapan jenis wayang yang digunakan.

Uskup Agung Semarang Mgr Johanes Pujasumarta tak bisa hadir dalam pergelaran Wayang Wahyu tersebut. Meskipun demikian Uskup menyampaikan pesan dalam bahasa Jawa melalui rekaman yang diperdengarkan.

Melalui rekaman yang berdurasi sekitar 10 menit tersebut, Mgr Pujasumarta menyampaikan, lakon Wayang Wahyu Ajisaka Citra Sang Pamarta, dipilih sebagai bentuk ucap syukur 70 tahun Tuhan mendampingi dalam perjalanan hidup Keuskupan Agung Semarang dan usainya arah dasar periode 2006-2010 dan saat ini masuk di Habitus Baru.

Uskup Agung mencontohkan kisah lima roti dan dua ikan yang bisa memberi makan ribuan orang demikian dengan kehidupan nyata, semangat memberi dan berbagi harus dibudayakan.
Pastur Jarot Kusno Priyono, yang memimpin Misa Pergantian Tahun sebelum pertunjukan Wayang Wahyu menambahkan, lakon Ajisaka ini merupakan simbol pemersatu. "Banyak perbedaan namun mampu dipersatukan untuk memuji Tuhan," ujarnya.

Marto (71) umat Katolik Paroki Ganjuran mengaku menikmati pertunjukan Wayang Wahyu. "Saya sering melihat pertunjukan wayang Romo Wi (Pastur Wiyono), tak hanya wayang kulit tapi juga wayang orang," ujarnya.

Wanita yang datang bersama anak serta cucunya ini juga menyatakan kekaguman pada Pastur Wiyono yang mampu mendidik generasi muda berkarya dalam melestarikan budaya Jawa. "Lihat saja yang menabuh gamelan masih kecil, kalau bukan kiprah Romo Wi tak bisa," imbuhnya.

Suasana pelataran Candi Ganjuran tak seperti biasanya. Jumlah umat yang mengunjungi Candi Ganjuran meningkat dua kali lipat. Oky, seorang anggota Muda Mudi Katolik (Mudika) yang bertugas parkir malam itu mengaku ada peningkatan pengunjung 200 persen.

"Dua tempat parkir di sini dan di lapangan penuh," ujarnya. Saat ini tempat parkir berada di luar komplek Candi Ganjuran berbeda dengan sebelumnya, mobil dan motor bisa masuk, kini disediakan dua lokasi parkir.

Selain itu ada tiga pendopo yang bisa dimanfaatkan umat yang berziarah untuk beristirahat setelah berdoa di Candi Ganjuran.

Suasana tersebut hingga kini masih saya rindukan. Harapan di pergantian tahun nanti mengalami peristiwa pergantian yang lebih menarik, dengan atau tanpa seseorang.
Tahun 2012.....saya menantikanmu, tak ada rasa takut ramalan tentang kiamat, karena pasrah pada Tuhan telah menyatu bersama berbagai harapan terbaik untuk membangun keluarga yang saya impikan. Berkah Dalem.

No comments