Breaking News

Bu Oom Siti Rohmah, Kisahnya Membantuku Bersyukur

Oleh : Robertus Rimawan

ROBERTUSSENJA.COM - Wajahnya keriput, namun sunggingan senyumnya membuatku tahu kalau wanita renta ini sering melimpahkan kasih dan sayang pada orang di sekitarnya. Oom Siti Rohmah (60), tiga kata yang ia ucapkan saat aku ulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.

Awal kenal, tatapanku tak bisa lepas sosok rapuh seorang wanita tua. Dari cara jalannya yang pelan namun santun menarik perhatianku. Ia membawa sebuah karung, pakaiannya tebal untuk melindungi kulit dari hawa dingin. Namun dari pakaiannya jelas menunjukkan ia seorang yang kurang secara ukuran materi, bajunya lusuh dan tampak jarang diganti.

Foto Istimewa - Penulis berfoto bersama Bu Oom
Ya, warga Desa Warnasari Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung ini adalah seorang pemulung. Namun hal menarik lainnya, ia seolah tak pernah merasakan pahit getirnya kehidupan. Kekurangan materi yang ia rasakan seolah tertutup dengan senyum ramah seorang ibu tiga anak dan enam cucu ini.

"Setiap hari saya dapat uang Rp 4 ribu hingga 6 ribu dari menjual plastik bekas minuman," ujarnya.

Hah!!! Serius? Masak sih bu? penghasilan seperti itu terus gimana makannya?

Pertanyaan tersebut spontan keluar.

Bu Oom tersenyum, kemudian dia bilang kalau ia mampu bertahan dengan keterbatasan, saat punya singkong ya makan singkong, dengan sayur seadanya dan ia mengaku bersyukur dengan kondisi tersebut.

Sejak 16 tahun lalu, suaminya seorang penarik perahu di sungai kawasan Situ Cileunca Pengalengan Bandung meninggal dunia karena penyakit jantung. Semenjak itu, ia harus bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya, apapun pekerjaan dilakukan satu di antaranya sebagai pemulung yang hingga kini ia tekuni.

Bu Oom tak pernah malu dengan pekerjaannya, asal halal, tak mencuri atau membuat malu keluarga ia rela melakukannya. Satu hal yang ia sesali, ia tak bisa menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tinggi. Ketiga anaknya hanya bisa menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD).

"Beda dengan sekarang, kalau sekarang SMP bisa gratis, dulu harus bayar, saya tak mampu, dan anak-anak juga tak menuntut lebih, mereka tahu kondisi saya," jelasnya.

Anak pertama Bu Oom laki-laki saat ini berusia 33 tahun memiliki satu anak bekerja sebagai tukang sapu sekolah dengan insentif per bulan Rp 150 ribu. Anak kedua wanita (24) memiliki dua anak dan bekerja sebagai buruh tani, sedangkan anak ketiga juga wanita (22) miliki tiga anak dan saat ini ikut suaminya di Bali.

Gaya hidup dan cara berpikir sederhana seorang wanita renta membantuku bersyukur dengan apa yang telah aku raih dan alami saat ini. Sosoknya mengingatkanku bahwa nafas, kesempatan hidup dan curahan kasih sayang untuk keluarga dan sekitar merupakan anugerah yang harus disyukuri.

Bu Oom iklas dengan kondisinya, namun ia tetap survive, bertahan hidup dengan segala keterbatasan dan berusaha untuk tidak mengeluh. Kesempatan hidup dan berkarya untuk orang lain minimal keluarga yang membuat Bu Oom menjalani hidupnya.

Saat ini bagi kita yang memiliki kondisi materi yang lebih baik diingatkan untuk bersyukur dan tak lupa untuk berbagi. Masih banyak Bu Oom di sekitar kita, bahkan kondisinya yang lebih memprihatinkan.

Mengutip SURAT GEMBALA PRAPASKA 2012 KEUSKUPAN AGUNG SEMARANG (KAS) dengan tema Katolik Sejati Harus Peduli dan Berbagi untuk semuanya, ada sebuah kisah yang menarik dalam surat dari † Johannes Pujasumarta Uskup Keuskupan Agung Semarang kepada seluruh umatnya.

Sebuah kisah inspiratif untuk mau berbagi berikut kisahnya seperti dikutip dari link Keuskupan Agung Semarang.

Kisah seperti dalam Injil tadi ternyata masih dapat dijumpai saat ini. Beberapa waktu yang lalu saya († Johannes Pujasumarta Uskup Keuskupan Agung Semarang) mendapat sharing dari seorang dokter:

“Suatu hari rumah sakit kami menerima seorang pasien, “Bu Fatimah”; diantar oleh seorang pemuda. Keadaannya sangat buruk: badan kurus, berbau, luka gangren, wajah pucat dan tampak depresif. Pemuda itu berkata kepada perawat: ‘Ini bukan Ibu saya tetapi saya menemukannya dari alun-alun kota. Saya membawanya ke sini karena rumah sakit ini pasti mau menolong Ibu ini’.

Setelah dirawat beberapa hari Ibu itu mengembuskan nafasnya dengan tenang. Karena tidak ada identitas apa pun, pemakaman Bu Fatimah diurus oleh pihak rumah sakit. Pada saat pemakaman pemuda itu datang bersama pacarnya dan ternyata ia telah memberikan beberapa rupiah kepada Ibu itu untuk biaya perawatan.

Bebe¬rapa hari kemudian, waktu ia bermobil lewat di pinggir alun-alun kota, ia jumpai lagi "Bu Fatimah" yang lain tergeletak di sana. Dengan rasa kasih, pemuda itu memasukkan Ibu itu ke dalam mobilnya, dan dibawa ke rumah sakit yang berjarak 40 km dari alun-alun kota tempat tinggalnya”.

Semangat mau berbagi ini yang ingin disampaikan Uskup Pujasumarta dan hal ini sebaiknya menjadi spirit hidup serta menjadi landasan bagi umat Katolik.

Mau berbagi menjadi kata kunci kebahagiaan, namun saat ini kunci kebahagiaan seolah sudah bergeser bukan lagi kesediaan untuk berbagi dan bersyukur dengan kondisi yang dimiliki, namun justru fasilitas modern yang dimiliki.

Ilustrasi Istimewa - Memupuk rasa syukur sejak kecil.


Teman memiliki android baru, iri. Saudara memiliki mobil baru, kita sedih.

Penulis jadi ingat sosok lain yang dulu sejak SD menjumpai hingga saat ini masih eksis. Dulu aku sekolah di SD Kanisius Notoyudan, tinggal di Jlagran dan sering main hingga Kampung Badran. Di perempatan lampu merah, di bawah rel kereta layang, ada sosok Slamet. Orang gila yang tak kenal lelah untuk menghibur.

Sejak SD hingga penulis sekarang umur kepala tiga, Slamet tetap eksis, tubuhnya masih kerempeng, dan wajahnya tak jauh berubah. Meski terlihat kerut-kerut pada wajahnya namun seolah tersamar dengan senyum dan kebahagiaannya.

Slamet seorang yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan, sejak pagi hingga sore selalu menyanyi di lampu pengatur lalu lintas. Lagu ia nyanyikan tak jelas namun ia nyanyikan dengan riang gembira dan dengan tawa lebar. Tawa kegembiraan natural terlihat jelas, beberapa pengendara kadang memberi uang, kadang hanya ikut tersenyum melihat tingkah Slamet atau berlalu sambil berujar dasar wong edan.

Tapi aku melihat Slamet merasakan kebahagiaannya, berbeda dengan orang-orang normal lainnya yang sering mengeluh dengan beban hidupnya termasuk si penulis (hehe). Apakah saya harus gila seperti Slamet untuk merasakan kebahagian?

Ternyata tidak, kuncinya pada keiklasan, iklas seperti Bu Oom yang mencari sampah untuk bertahan hidup, iklas seperti kisah yang disampaikan Uskup Pujasumarta tentang pemuda yang mau menolong Bu Fatimah dan iklas seperti Slamet yang tak kenal waktu menyanyi dan tertawa di perempatan lampu merah Badran.

Kisah lain yang juga dialami penulis adalah ketika bersama seorang teman usai berziarah di Gua Maria Jatiningsih beberapa tahun lalu. Ketika sedang menikmati semangkuk bakso, ada seorang pria berrambut acak-acakan dan pakaian camping-camping mengais tempat sampah kemudian dengan lahap memakan bungkusan makanan yang ada di tempat sampah tersebut.

Aku kaget dan dalam hati prihatin dengan kondisi tersebut. Belum sempat tersadar untuk beranjak dan membelikannya meski hanya semangkuk bakso, orang tersebut sudah beranjak pergi.

Pertanyaannya apa yang membuatnya mau makan dari sisa-sisa makanan di tempat sampah? Ya, karena keterbatasan dan keiklasan untuk menerima. Rasa syukur akan muncul seperti kisah di sebuah buku, seorang anak tak lagi merengek meminta sepatu baru setelah ia memakai sepatu bututnya di dekat orang yang hanya memiliki kaki sebelah. Ya, kita harus bersyukur. Tuhan Memberkati. (*)

4 comments:

  1. "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga."

    Sepertinya ini cocok untuk Eyang Oom :)
    Senyum tulusnya mampu menghalau segala "pedih" kehidupan. Senang mengenalmu Eyang ^_^

    Buat mas Robertus,
    Tulisan yang sangat inspiratif untuk kita semua.
    Lanjutkan terus menggoreskan "tinta" di dunia ini.

    ReplyDelete
  2. Thank you Arvind Gulia, mohon bantuannya, semoga bisa bermanfaat bagi orang lain. Bantuanmu saya nantikan. Untuk Misterius Girl pengalamanmu senada saat bertemu banyak sosok seperti Bu Oom bisa juga lho mengisi blog saya. moga catatan perjalananmu bisa meningkatkan semangat menuju kehidupan lebih baik, Amin.

    ReplyDelete
  3. Kisah yang bisa menyentuh hati.. Mmg masih byk org spt Bu Oom.. Jadi syukurilah smua yg didapat dari hal yg paling kecil smpe besar wlopun apapun itu bentuknya.. Bukan hanya lebih mendekatkan diri ke Allah tapi itu juga akan terasa manfaatnya bagi kehidupan.. Karena kebahagiaanb itu kita yang ciptain sendiri.. :p

    ReplyDelete
  4. Saya setuju Nid, Bu Oom membantu saya bersyukur, dan kisahnya ternyata bisa memberikan inspirasi. Tq Nid

    ReplyDelete